Jakarta, CNBC Indonesia – Bank Indonesia (BI) akan memperkenalkan kehadiran lembaga baru bernama Central Counterparty (CCP) pada 30 September 2024 mendatang.
Lembaga itu menjadi Infrastruktur Pasar Keuangan (IPK) yang menjalankan fungsi kliring sentral dalam transaksi pasar uang dan pasar valuta asing (PUVA) dengan sekaligus menempatkan dirinya sebagai penjamin di antara para pihak yang melakukan transaksi.
Lantas, dengan kehadiran CCP, apakah transaksi pasar uang dan pasar valas dilarang menggunakan skema over the counter (OTC) atau secara bilateral sebagaimana selama ini?
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan (DPPK) BI Donny Hutabarat menekankan, regulator seperti BI dan OJK belum berencana membuat transaksi pasar uang dan valas menjadi mandatori di CCP.
“Nah, tadi apakah ini mandatori? kita belum berpikir ke sana, meskipun itu bisa saja dimandatorikan, tapi kan kita lihat juga belum semua masuk,” kata Donny saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Mandatori transaksi pasar uang maupun pasar valas belum ditetapkan karena saat ini produk transaksi yang baru bisa dilayani sebatas transaksi Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
Sedangkan untuk produk repo, Interest Rate Swap (IRS), Overnight Index Swap (OIS), dan lainnya masih akan terus dikembangkan mulai 2025 sampai 2030.
Meski begitu, Donny menekankan CCP memiliki keunggulan khusus yang membuat para pelaku pasar uang dan valas akan masuk menjadi anggota dan bertransaksi melalui lembaga itu ke depannya, yaitu semakin efisiennya margining rule dan capital charge saat transaksi.
“Margining rule dan capital charge, penghitungan modal minimum dari OJK itu juga disesuaikan. Jadi misalnya kalau di-CCP-kan itu nanti capital charge-nya itu langsung lebih rendah, jadi hanya 2% dibandingkan dengan kalau enggak di-CCP-kan itu seperti sekarang 50%,” ucap Donny.
Dengan demikian regulatory incentive akan memberi daya tarik karena CCP itu memitigasi berbagai risiko transaksi, mulai dari mitigasi risiko counterparty, risiko likuiditas, dan risiko volatilitas pasar.
“Nah itu dianggap di dalam perhitungan pemenuhan modal minimum itu kalau risiko itu sudah dimitigasikan. Pencadangan modal minimum itu sudah enggak diperlukan, itu cuma dikenakan 2%,” tegas Donny.
“Jadi makanya kalau bank-bank punya posisi DNDF Kalau dikliringkan di CCP langsung perhitungan modal minimumnya itu turun, jadi itu hanya 2%,” ungkapnya.
Next Article
Video: Suku Bunga Naik Lagi, Apa Kabar Ekonomi RI?