Jakarta–
Dalam berpolitik, citra memiliki peran penting. Terlebih lagi dalam konteks pemilihan umum, impresi yang dibuat oleh seorang calon pemimpin pada masyarakat bisa menentukan elektabilitas. Tidak seluruh informasi mengenai visi dan misi serta program kerja calon pemimpin bisa tersampaikan secara efektif ke masyarakat—namun, semua pemilih akan melihat citra yang ditampilkan oleh para kandidat capres dan cawapres. Salah satu hal paling kentara dalam membangun citra ini adalah gaya berpakaian.
Ungkapan “the clothes make the man” telah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Kata-kata tersebut merupakan parafrase dari suatu kutipan dalam cerita pendek Mark Twain, “The Czar’s Soliloquy”, yang pertama diterbitkan pada tahun 1905. Lebih jauh lagi, ungkapan bernada serupa juga bahkan ditemukan lebih dari 400 tahun sebelumnya pada Abad Pertengahan. Maknanya, bahwa pakaian bisa merefleksikan nilai-nilai yang kita percayai, memiliki relevansi yang tidak berubah seiring zaman.
Pilihan dalam berpakaian mengomunikasikan aspek-aspek diri dan kepribadian seseorang. Pakaian merupakan bentuk dari bahasa sosial, di mana ia bisa menyampaikan siapa diri kita bahkan sebelum kita membuka mulut. Tiap jenis pakaian memiliki konteks kulturalnya masing-masing, yang memiliki pengaruh terhadap bagaimana penggunanya akan dipandang oleh sekitar.
Bagi capres dan cawapres, pakaian yang dipilih serta implikasinya tentu merupakan hal yang sangat diperhitungkan. Visi yang ingin disampaikan memiliki kaitan erat dengan persona yang mereka bangun, serta demografi pemilih yang dituju. Lalu, bagaimana dengan Pemilu 2024? Mari kita perhatikan.
Menilik Pakaian Capres dan Cawapres 2024
Pasangan nomor urut pertama,Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, kerap terlihat di mata publik dengan tampilan yang cenderung formal. Di antara ketiga kandidat, pasangan ini menampilkan citra “politisi” paling tradisional. Keduanya memiliki latar belakang di bidang akademis, membuat penampilan rapi ini sesuai bagi citra Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang terpelajar. Setelan jas lengkap—dengan dasi, kemeja, dan celana formal—memberi kesan penggunanya menghargai nilai-nilai tradisional. Pada masa di mana cara kita berpakaian semakin “santai”, pakaian formal bisa dibilang merupakan cara seseorang menghormati lawan bicara atau orang yang ditemuinya.
Berbeda dengan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, pasangan ini lebih sering tampil kasual di forum publik. Paduan antara kemeja biru muda yang kerap ditemui di lingkungan kerja dan varsity jacket kasual memberikan kesan “muda”—sesuai demografi pemilih yang mereka tuju. Outfit kasual menyampaikan citra approachable dan tidak kaku, yang cenderung bertolak belakang dengan pakaian formal. Pemilihan warna-warna terang juga turut memberikan kesan ramah.
Pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD merupakan capres dan cawapres yang menggunakan pakaian sebagai medium komunikasi paling kentara. Keduanya kerap mengenakan pakaian bersematkan jargon-jargon dan program kerja mereka seperti “Sat-Set”, “Bansos Pasti”, dan “17 Juta Lapangan Kerja”. Kata-kata ini seringkali tertuang dalam pakaian seperti varsity jacket maupun bomber jacket. Sebelum diadopsi secara luas, kedua pakaian ini memiliki roots di budaya olahraga dan militer, yang memberikan citra bahwa penggunanya maskulin dan reliable. Lebih lanjut lagi, paslon ini kerap menggunakan pakaian dengan jargon yang saling melengkapi, seperti kemeja Ganjar Pranowo yang bertuliskan “Sat-Set” dan Mahfud MD yang bertuliskan “Tas-Tes”. Seragam yang matching ini turut mengomunikasikan sinergi antar capres dan cawapres nomor urut ketiga ini.
Terdapat citra dan persona yang distingtif dari masing-masing pasangan capres dan cawapres ini. Baik komunikasi langsung maupun implisit, pilihan gaya berpakaian para calon pemimpin ini tidak bisa dilepaskan dengan bentuk kampanye dan elektabilitasnya. Walau bukan menjadi faktor langsung seseorang untuk memilih pemimpin, pakaian memiliki pengaruh yang tidak terbantahkan pada psikis pengguna dan mereka yang melihatnya.
(cxo/DIR)