Jakarta, CNBC Indonesia –Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pekan ini ditopang derasnya dana asing yang masuk ke Tanah Air. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup di posisi Rp15.480/US$ atau terapresiasi 0,16% pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (1/12/2023).
Penguatan tersebut membawa rupiah kembali ke level Rp 15.400 setelah sempat terjatuh ke level Rp 15.500 per dolar. pada Kamis pekan ini.
Dalam sepekan, mata uang Garuda rupiah ditutup menguat 0,51% pekan ini. Penguatan pekan ini menjadi kabar baik setelah mata uang Garuda melemah 0,45% pada pekan sebelumnya.Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah menguat sebanyak empat kali dan hanya melemah satu hari.
Penguatan mata uang Garuda ditopang oleh derasnya dana asing yang masuk ke pasar keuangan Tanah Air.Data Bank Indonesia berdasarkan transaksi 27-30 November 2023 menunjukkan investor asing mencatat net buy sebesar Rp 15,92 triliun. Pembelian di pasar saham mencapai Rp 4,94 triliun sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 10,6 triliun.
Inflow pada pekan ini menjadi yang tertinggi sepanjang 2023. Catatan terbaik sebelumnya adalah pada pekan ketiga Januari sebesar Rp 14,8 triliun. Inflow pada pekan ini juga melanjutkan tren positif di mana net buy sudah berlangsung selama tiga pekan berturut-turut.
Dana asing tetap mengalir deras meski kekhawatiran sempat muncul karena Indonesia mulai menggelar pesta akbar kampanye pemilihan umum dan pemilihan presiden (pilpres) 2024. Kampanye digelar mulai Selasa (28/11/2023) hingga 10 Februari 2024.
Dana asing mengalir deras setelah pasar semakin optimis jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan melunak.Perangkat CME FedWatch tool menunjukkan 97,1% pelaku pasar melihat The Fed masih akan menahan suku bunga pada Desember mendatang. Artinya, hingga akhir tahun suku bunga masih berada di level 5,25-5,50%.
Pelaku pasar bahkan memproyeksi bank sentral akan segera memangkas suku bunga pada Maret 2024.
Keyakinan ini muncul setelah inflasi AS dan data Pengeluaran Konsumsi Pribadi (PCE) AS melandai. Kedua faktor ini menjadi pertimbangan penting The Fed dalam menentukan kebijakan.
Inflasi AS melandai ke 3,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, dari 3,7% (yoy) pada September 2023.PCE Oktober 2023 tercatat stagnan 0% secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dari posisi September lalu yang sebesar 0,4% (mtm) dan 3,4% (yoy).
Angka PCE Oktober juga lebih rendah dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan naik 0,2% (mtm) dan 3,1% (yoy).
Adapun inflasi PCE inti, yang tidak termasuk harga makanan dan energi, naik 0,2% (mtm) dan 3,5% (yoy) pada bulan ini. Kedua angka tersebut selaras dengan konsensus Dow Jones. Optimisme pelaku pasar akan melandainya The Fed menekan dolar AS dan imbal hasil US Treasury.
Melansir data Refinitiv, indeks dolar sempat bergerak di level 102 pada Selasa dan Rabu (29/11/2023) pekan ini atau berada di level terendah selama tiga bulan terakhir.
Pada Rabu imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun jatuh ke 4,27%. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 14 September 2023 atau sekitar 2,5 bulan terakhir.
Pelemahan kedua instrumen berdenominasi dolar tersebut mencerminkan jika investor mulai menjual dolar dan surat utang AS dan mengalihkan investasinya ke luar AS, termasuk Asia. Kondisi ini ikut mendorong penguatan mata uang Asia. Mata uang utama Asia bahkan mampu menguat lebih tajam dibandingkan rupiah.
Penguatan tertajam dicatat oleh yen yang melonjak 1,79% disusul kemudian dengan baht Thailand yang terbang 1,29%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)[Gambas:Video CNBC]