Menikah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam praktiknya, pernikahan biasanya diiringi dengan sejumlah adat dan tradisi tanpa meninggalkan rukun dan syarat nikah, yaitu adanya mempelai pria dan wanita, wali, saksi, dan ijab qabul.
Di antara adat atau tradisi di sebagian daerah di Indonesia adalah adanya semacam pantangan untuk menikahkan 2 anak di tahun yang sama. Lalu muncul pertanyaan, bolehkah menikahkan 2 anak di tahun yang sama?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu ditegaskan bahwa menikah itu diwajibkan bagi orang yang memang sudah mampu, baik secara lahir maupun batin. Mengenai hukum menikahkan dua anak dalam tahun yang sama tidak ditemukan dalil yang melarangnya.
Penjelasan yang tersedia adalah mengenai soal waktu pelaksanaan akad nikah, yaitu sebaiknya dilakukan pada hari Jumat. Alasannya adalah bahwa hari Jumat adalah hari yang paling mulia dan merupakan sayyidul al-ayyam (penghulu hari).
Di samping itu pelakasanaan akad nikah tersebut sebaiknya dilakukan di pagi hari, karena terdapat hadits yang menceritakan tentang do’a Rasulullah saw yang meminta kepada Allah swt agar memberikan berkah kepada umatnya pada pagi hari.
قَوْلُهُ: وَيَوْمَ الْجُمُعَةِ- أَيْ وَأَنْ يَكُونَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ لِاَنَّهُ أَشْرَفُ الْاَيَّامِ وَسَيِّدُهَا.وَقَوْلُهُ أَوَّلَ النَّهَارِ: أَيْ وَأَنْ يَكُونَ فِي أَوَّلِ النَّهَارِ: لِخَبَرِ اللَّهُمَّ بَارِكْ لِاُمَّتِي فِي بُكُورِهَا حَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ
“(Perkataan penulis: dan pada hari Jumat) maksudnya adalah adanya akad sebaiknya dilakukan pada hari Jumat karena merupakan hari yang paling mulia dan penghulu hari. Dan perkataan penulis pada awal siang (pagi hari) maksudnya adalah sebaiknya akad nikah dilakukan pada awal siang karena ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw berdo’a, ‘Ya Allah berkahi umatku pada pagi hari’. Hadits ini dianggap sebagai hadits hasan oleh at-Tirmidzi” (Al-Bakri Muhammad Syatha, I’anah ath-Thalibin, [Beirut: Dar al-Fikr, tt], Juz III, h. 273)
Sedang mengenai bulannya disunnahkan pada bulan Syawal dan Shafar karena Rasulullah saw menikah dengan sayyidah Aisyah pada bulan Syawal, dan menikahkan putrinya yaitu sayyidah Fathimah dengan Ali bin Abu Thalib pada bulan Shafar. Hal ini sebagaimana keterangan dalam kitab Nihayatuz Zain karya Syaikh Nawawi al-Bantani.
وَيُسَنُّ أَنْ يَتَزَوَّجَ فِي شَوَّالٍ وَفِي صَفَرٍ لِأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي شَوَّالٍ وَزَوَّجَ ابنَتَهُ فَاطِمَةَ عَلِيًّا فِي شَهْرِ صَفَرٍ
“Dan sunnah pelaksanaan pernikahan pada bulan Syawal dan Shafar karena Rasulullah saw menikah dengan sayyidah Aisyah ra pada bulan Syawal, dan menikahkan putrinya sayyidah Fathimah ra pada bulan Shafar”. (Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zain, [Beirut: Dar al-Fikr, tt], h. 200)
Selanjutnya, soal menikahkan dua anak dalam tahun yang sama lebih merupakan sesuatu yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat. Pendekatan yang paling mudah untuk memahami larangan tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan ekonomi.
Pada umumnya, ketika orang tua menikahkan anak akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk resepsi pernikahan tersebut. Jika kemudian di tahun yang sama menikahkan anaknya yang kedua tentunya ini akan membebani mereka. Beban menikahan anak pertama belum selesai, tiba-tiba muncul beban baru.
Dengan demikian, hukum menikahkan anak di tahun yang sama pada dasarnya boleh, hanya saja persoalan ekonomi juga perlu dipertimbangan agar di kemudian hari tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wallahu a’lam
(Tim Layanan Syariah, Ditjen Bimas Islam)